Kehadiran teknologi tentunya memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau pada umumnya dikenal juga dengan istilah ‘e- government’, hadir untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik dan partisipasi masyarakat, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Bagaimanakah tingkat adopsi sistem e-government dilakukan oleh berbagai negara di dunia? Center for Digital Society (CfDS) mengadakan bedah rilis laporan UN Digital Governance 2020 ‘E-Government Survey 2020’, yang disampaikan oleh tim peneliti CfDS yakni Anisa Pratita, Treviliana Putri, Heidira Widayani, dan Perdana Karim. Acara ini juga dihadiri oleh anggota tim evaluator SPBE Kemenpan-RB, Dr. Wing Wahyu Winarno sebagai pembahas. Acara diselenggarakan lewat Google Meet dan disiarkan secara langsung via YouTube pada Senin (13/7).
Sekilas Implementasi SPBE dalam Lanskap Global Dalam laporan yang berjudul ‘E-Government Survey 2020’, dapat dilihat bahwa penggunaan berbagai layanan pemerintahan berbasis digital di berbagai negara saat ini meningkat akibat pandemi COVID-19. Tingkat adopsi pemerintahan digital pada negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah juga meningkat hingga 57%, apabila dilihat dari E-government Development Index (EGDI) secara global. Meski demikian, masih terdapat kesenjangan tingkat pengembangan SPBE yang cukup signifikan dari berbagai negara. “Dalam konteks Asia, perbedaan pengembangan e-government antar negara di benua ini masih relatif lebar, apabila dibandingkan dengan pengembangan e-government antar negara di benua Amerika,” jelas Heidira. Korea Selatan, Singapura, dan Jepang menjadi negara-negara di wilayah Asia yang dianggap memiliki perkembangan implementasi SPBE secara komprehensif.
Implementasi SPBE di Indonesia Menurut laporan yang baru saja dirilis pada Jumat (10/7) lalu, Indonesia menempati peringkat ke-88 dalam peringkat global implementasi SPBE di berbagai negara. Naik 19 tingkat dari laporan yang sama pada 2018 silam, Indonesia termasuk dalam jajaran negara yang memiliki tingkat implementasi SPBE yang tinggi terutama dalam indikator ‘Online Service Index’ (OSI) dan ‘Human Capital Index’ (HCI). Laporan ini juga mencatat bahwa Indonesia memiliki nilai indeks pengembangan SPBE yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
“Indeks ini diukur dari beberapa komponen, yaitu cakupan dan kualitas layanan pemerintahan digital, status perkembangan infrastruktur digital, dan kecakapan sumber daya manusia dalam mengoperasikan layanan e-government,” ungkap Karim. Akan tetapi, Indonesia masih jauh tertinggal dalam indikator infrastruktur telekomunikasi di mana Indonesia masih memiliki skor yang sejajar dengan Ghana, Yordania, dan Kamboja.
Pentingnya Pembangunan Infrastruktur Komunikasi Meskipun laporan ini mencatat beberapa temuan positif terkait implementasi SPBE di Indonesia, masih terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan. Satu tantangan utama merupakan kurangnya keterjangkauan dan cakupan implementasi SPBE yang diharapkan dapat semakin luas dijalankan di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya terpusat di Jakarta, maupun kota-kota lainnya di pulau Jawa. Infrastruktur digital juga masih menjadi tantangan lainnya, mengingat belum meratanya koneksi internet yang stabil di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. “Tingkat kecakapan sumber daya manusia Indonesia juga menjadi komponen penting untuk terus diolah agar implementasi SPBE di Indonesia semakin efektif dan efisien,” ujar Anisa.
Ditambah dengan adanya situasi pandemi COVID-19 yang membutuhkan akselerasi transformasi digital, pemerataan pembangunan dan pengembangan infrastruktur telekomunikasi menjadi sebuah hal yang sangat penting untuk segera dilakukan oleh pemerintah. Terakhir, kurangnya koordinasi antar institusi pemerintahan dalam menyediakan layanan pemerintahan berbasis digital juga menjadi tantangan lain yang harus diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. “Diperlukan adanya reorganisasi institusi untuk menciptakan alur kerja penerapan e-government secara vertical dan horizontal yang efektif dan efisien. Hal ini merupakan langkah penting, sebelum melakukan proses otomasi dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan berbasis digital,” pungkas Treviliana.