Seperti apa sebenarnya peran residensi seni, dan bagaimana dampak sebuah kunjungan sementara terhadap proses kreatif seniman? Karena makin ke sini istilah residensi jadi template untuk sekadar program plesir yang dilakukan pelaku kesenian. Pertanyaan itu cukup cair dibahas dalam diskusi “Mengakhiri Teritori: Reposisi Artistik dalam Demam Geopolitik” pada Hari Bumi, 22 April 2022.
Bertempat di Yayasan Kampung Halaman, forum publik yang menjadi program publik perdana Buku Seni Rupa tersebut berlangsung dengan santai. Menghadirkan Marten Bayuaji dan Wisnu Ajitama sebagai pembicara. Selain telah beberapa kali menjalani residensi lintas dusun hingga benua, secara kekaryaan keduanya juga lekat dengan olah ruang dan isu lingkungan.
“Aku kemarin ke sana (Jerman) mengusung tema soal kapuk. Karena ada korelasinya antara tempat residensi sama karyaku. Aku ngomongin almarhumah Nenekku yang mantan pebisnis kapuk, dan tempat residensiku itu semacam cagar budaya eks pemintalan kapas,” kata Marten bercerita tentang presentasinya ketika di Leipzig, Jerman.
Menurut alumnus Pascasarjana ITB itu, warga di sekitar lokasi residensinya cukup menaruh perhatian dengan karyanya yang berjudul “Snow from Muria”. Karya berupa video instalasi tersebut menampilkan hamparan kapuk Jepara di gudang penjemuran. Helai-helai putih tipis beterbangan laiknya salju yang turun di dataran Eropa. Yang membedakan hanya, sebagaimana kapas, kapuk adalah salju yang menggerakkan roda kapitalisme.
Berbeda dari Marten yang melihat kebudayaan dari kacamata industri. Wisnu lebih menangkap peran seorang seniman di wilayah baru adalah untuk mengkomunikasikan nilai lokal ke wilayah global.
“Saya menganggap lokal adalah investasi global. Residensi berguna sebagai manifestasi seniman untuk pengalaman, perjumpaan, kemudian masuk ke wilayah paling penting, yakni seniman sebagai diplomat budaya di lingkungan itu,” ujar Wisnu menyampaikan pendapatnya tentang seniman yang mendapat akses teritori.
Bisa dikatakan pengamatan Wisnu adalah penglihatan seniman yang membawa nilainya sendiri. Seberapapun jauh tubuhnya melintasi perbatasan, tidak peduli di Paris, Korea, Jepang, maupun Belanda, dia adalah manusia dengan arsitektural candi dalam pikirannya. Sosok Wisnu menjelaskan pengalaman subjek sebenarnya tidak pernah lepas dari aspek geografi dan antropologisnya. Bahkan di sanalah terletak daya tawar seniman yang mengakarkan identitas pada tanah tempat ia dilahirkan.
Tentu saja residensi tidak melulu berisi misi berat kebudayaan. Justru yang paling harus disadari adalah posisi seniman sebagai subjek yang mengalami sesuatu. Bagaimana kemudian pengalaman sehari-hari dapat menanamkan pemahaman baru, hingga berpengaruh terhadap proses kreatif.
Pengalaman-pengalaman kecil, memori-memori yang terbangun atas interaksi secara langsung, juga dialami oleh Marten dan Wisnu. Keduanya menemukan ternyata setiap masyarakat memiliki cara pandangnya sendiri mengenai persoalan sehari-hari. Misalnya Marten melihat, bahwa hanya untuk memancing saja, masyarakat di Jerman harus mendapat surat izin yang tesnya serumit membuat SIM.
Pun begitu Wisnu, saat dia terjebak udara dingin dengan heater yang mati. Timnya yang terdiri dari orang-orang Eropa, ragu-ragu untuk menyalakan api. Hanya dia, sebagai orang yang lahir di Kediri, berani mengambil inisiatif sebelum tubuh mereka diserang hipotermia. Secara tidak langsung hal itu menjelaskan konstruksi sikap perorangan, salah satunya ditentukan dari kebudayaan asal seseorang.
Hal-hal semacam itu yang akhirnya membuat perjumpaan menjadi penting. Dan melalui residensilah kesempatan tersebut dapat terakses. Lalu mengapa harus seniman? karena seniman adalah individu yang memiliki keleluasaan untuk melihat segala sesuatu dari beban nilainya.
Pihak penyelenggara sendiri menghadirkan diskusi ini untuk membaca kecenderungan seniman muda Indonesia hari ini. Yang oleh Pandoyo sebutkan, “Bahwa hal itu berkaitan dengan keniscayaan migrasi lintas teritori. Sedang di sisi lain menunjukkan adanya pilihan residensi ke negara lain. Sebuah metode (pembiayaan) eksplorasi pengalaman sekaligus komparasi gagasan dan praktik estetik, berikut mimpi karir kesenimanan.”
Dari banyaknya poin sepanjang diskusi, perjumpaan masih menjadi cara pertukaran nilai untuk menubuhkan pengetahuan. Dan bagaimana kemudian kerja artistik menjalankan perannya sebagai diplomat politik-budaya dalam lingkup paling sempit, yaitu individu, hingga teritori besar seperti masyarakat dan geografi.