Penyelenggaraan Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 telah berakhir pada 7 Desember 2019. Malam penganugerahan dan penutupan menjadi rangkaian acara terakhir dari gelaran FFD 2019 yang diadakan sejak Minggu (1/12) lalu. Bertempat di Gedung Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta, malam penutupan ini turut memutarkan film pemenang kompetisi kategori dokumenter pelajar setelah pembacaan pemenang dilakukan.
Acara dimulai dengan penyampaian rekapitulasi agenda FFD 2019 oleh Syifanie Alexander, programmer FFD 2019 untuk program Perspektif. Tahun ini FFD 2019 telah menayangkan 91 film dokumenter dari 22 negara yang terangkum dalam 15 rangkaian program di enam lokasi, yakni: Taman Budaya Yogyakarta, Kedai Kebun Forum, Auditorium IFI-LIP Yogyakarta, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada. Selain penayangan film, FFD 2019 juga menghadirkan lokakarya kritik film, tujuh DocTalk dan dua Public Lecture, serta tiga ekshibisi yang dilaksanakan di Kedai Kebun Forum dan Lobi gedung Societet Militair.
Acara inti dari malam penganugerahan ini adalah pengumuman pemenang dari keempat kategori kompetisi yang dipimpin oleh Rugun Sirait, programmer FFD 2019 kategori Kompetisi. Dalam kesempatan ini, Rugun menyampaikan bahwa tahun ini FFD 2019 menerima 286 film dari 58 negara dan 17 provinsi di Indonesia dengan rincian sebagai berikut: 163 film kategori panjang internasional, 97 film kategori pendek, 17 film kategori pelajar, dan 9 film panjang indonesia.
Adapun para penerima penghargaan FFD 2019 adalah sebagai berikut:
Pemenang Kompetisi Kategori Dokumenter Pelajar diraih oleh film Tambang Pasir (Sekar Ayu Kinanti, 2019). Film Tambang Pasir dianggap sebagai film yang berbicara melalui fakta yang dikemas, namun tetap membuka ruang untuk dialog dan berpikir. Film ini juga berhasil menunjukkan keberpihakan filmmaker. Footage yang diambil sangat kaya dan dapat bercerita mengenai banyak lapisan isu-isu sosial.
Selain itu, para juri juga perlu mengapresiasi Pasur ‘Pasar Sepur (Sarah Salsabila Shafiyah, 2019) sebagai Special Mention. Film Pasur ‘Pasar Sepur’ dinilai sebagai film yang berani secara proses pembuatannya, teknis yang baik, namun gaya penceritaan sebaiknya lebih “ditajamkan.”
ST Kartono selaku perwakilan juri dari Kompetisi Kategori Dokumenter Pelajar menyampaikan catatan mengenai para peserta. “Film pelajar ini menariknya tidak terlihat seperti tugas sekolah, bahkan juri sempat lupa sedang menonton film yang dibuat oleh pelajar, dilihat dari pemilihan tema dan penggarapan teknisnya. Pelajar sadar bahwa film adalah medium komunikasi yang paling efektif berdasarkan pilihan mereka,” ujar Kartono.
Diary of Cattle (Lidia Afrilita & David Darmadi, 2019) menjadi pemenang Kompetisi Kategori Dokumenter Pendek. Menurut para juri, film ini dapat menceritakan kisah yang lebih luas melalui gambar-gambar yang puitis. Ini adalah bentuk baru film dokumenter pendek Indonesia yang ‘memperlihatkan, bukan menceritakan’, namun tetap saja memuat gambaran besar mengenai isu-isu yang penting. Audiens diajak untuk memerhatikan gambar di layar, dan tidak bergantung pada narasi lisan.
Sementara itu, juri sepakat untuk mengapresiasi sebuah film dengan gaya penceritaan yang baru, yaitu Cipto Rupo (Catur Panggih Raharjo, 2019) sebagai Special Mention. Cipto Rupo berhasil menyampaikan perjuangan dan hasrat untuk bertahan hidup menggunakan visual. Filmmaker dapat menunjukkan drama sentimental di karyanya ini secara terperinci.
Pemenang Kompetisi Kategori Dokumenter Panjang Internasional diraih oleh film The Future Cries Beneath Our Soil (Hang Pham Thu, 2018). Film ini dinilai karena pendekatan intimnya yang menyentuh kisah efek peperangan. Film ini menawarkan perspektif sinematik yang serius. Dengan memutarbalikkan asumsi kita mengenai Perang Vietnam, kita mengamati hal-hal detail yang masih membayangi komunitas rural, yang terpaksa menanggung akibat peperangan dan kehancuran lanskapnya. The Future Cries Beneath Our Soil tidak hanya mengisahkan tanah yang terluka, namun menyingkapkan jiwa manusia yang terserak.
Selain itu, Dewan Juri memberikan Special Mention kepada Lemebel (Joanna Reposi Garibaldi, 2019) atas pemanfaatan arsip footage secara kreatif serta keterkaitannya dengan kisah hidup seniman dan konteks sosio-politik. Film ini adalah sebuah perayaan dan penghormatan untuk seniman Pedro Lemebel dan keberaniannya dalam melawan marjinalisasi dan diskriminasi.
Sedangkan pemenang Kompetisi Kategori Dokumenter Panjang Indonesia diraih oleh film Om Pius, ‘Ini Rumah Saya, Come The Sleeping’ (Halaman Papua, 2019). Film ini menggabungkan sederetan impian, kegiatan sehari-hari, serta cerminan kondisi historis dan saat ini di Papua. Selain itu, film ini menyajikan metafor kuat tentang bagaimana masyarakat Papua selalu hidup dalam bahaya. Dikemas dengan selera humor yang baik dan pengeditan yang apik, Om Pius ‘Ini rumah saya, come the sleeping’ adalah kritik penting bagi kebijakan pembangunan di Papua.
Dewan Juri sepakat untuk memberikan Special Mention kepada Tonotwiyat ‘Hutan Perempuan’ (Yulika Anastasia Indrawati, 2019). Imaji Papua di media arus utama Indonesia berfokus pada potensi pariwisata atau gejolak politik. Dewan Juri hendak mengapresiasi usaha Yulika dalam memberi warna baru tentang narasi Papua yang mengedepankan kearifan lokal, serta cara hidup masyarakat Papua yang belum banyak diketahui oleh orang banyak, namun amat penting dalam menghadapi krisis iklim global.
Malam penganugerahan dan penutupan FFD 2019 resmi ditutup oleh Henricus Pria selaku Direktur FFD 2019. Ia mengatakan bahwa FFD merupakan ruang belajar dan berbagi yang aman, nyaman, dan inklusif. “Melalui film, kita saling bertukar pikiran dan pengetahuan, berusaha mengikis batasan-batasan seperti bahasa dan latar belakang. Namun pertanyaannya adalah, setelah kita keluar dari perayaan film ini, apakah kita akan berhenti membicarakan perbedaan-perbedaan isu? Bahkan, sesederhana mengucapkan terima kasih dan bertepuk tangan dalam bahasa isyarat,” kata Henricus.