Praktik diskriminasi terhadap konsumen produk tembakau terjadi di bermacam tempat. Mulai dari diskriminasi di tempat kerja, diskriminasi sosial, kesehatan, diskriminasi asuransi, pendidikan, serta diskriminasi di tempat umum. Demikian informasi tersebut disampaikan oleh Komisioner Ombudsman DIY Agung Sedayu saat bertemu dengan rekan media di Kamis (6/4) di Greehost Boutique Hotel, Yogyakarta.
Ia menyoroti terbatasnya kebebasan berbicara dan berekspresi mengenai produk tembakau, pemangkasan anggaran serta dukungan untuk lembaga advokasi konsumen produk tembakau. Praktik diskriminasi ini akan menghambat konsumen dalam memperoleh informasi terkait kesehatan dan kesejahteraan konsumen.
Agung juga mengatakan bahwa ada pula contoh praktik diskriminasi lain yang dialami konsumen yakni praktik diskriminasi hak edukasi. Di mana ada pemberian informasi yang tidak lengkap atau salah mengenai produk tembakau. “Seharusnya pemerintah memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai untuk edukasi konsumen tentang produk tembakau. Bukannya malah melarang yang ujungnya menghambat konsumen dalam membuat keputusan,” ujar Agung dalam FGD yang diikuti puluhan representasi lintas asosiasi dan organisasi di Yogyakarta ini.
Ketua Pakta Konsumen, Ary Fatanen selaku organisasi yang menginisiasi FGD ini menegaskan bahwa konsumen hanya dianggap sebagai objek. Padahal dengan kontribusi dan sumbangsihnya terhadap cukai rokok, hak-hak konstitusional konsumen tidak boleh diabaikan.
“Sejak dirilisnya Keppres No. 25 Tahun 2022 Desember tahun lalu, rencana larangan total penjualan rokok batangan, semakin nyata. Praktik diskriminasi dan pengabaian hak-hak ekonomi masyarakat. Ditambah lagi, dorongan revisi PP No.109 Tahun 2012 terdapat 7 poin materi yang mayoritasnya adalah pelarangan total iklan, promosi dan sponsorship yang menindas hak informasi dan hak edukasi konsumen,” tukasnya.
Komite Tetap KADIN DIY Bidang Kebijakan Publik yang diwakili oleh Detkri Badhiron menuturkan asas perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan keadilan, keamanan serta kepastian hukum.
“Prinsipnya perlindungan konsumen dalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindubgi dan terpenuhinya hak konsumen termasuk konsumen produk tembakau,” kata Detkri.
Sementara itu, terkait wacana revisi PP 109/2012 yang terus didorong, Detkri menekankan bahwa prinsipnya adalah pengendalian dan pengawasan. Bukan mengarah pada pelarangan total.
Kajian Holistik dan Substanstif Ekosistem Pertembakauan
Memandang masifnya dorongan revisi regulasi pertembakauan, A.B Widyanta, Sosiolog UGM menilai penting bagi konsumen untuk mengawal penyusunan regulasi agar adil, berimbang dan memberi kesempatan serta pelibatan dan perlindungan kepada seluruh konsumen. “Jangan sampai ada konflik kebikakan atau tumpang tindih kebijakan yang ujungnya mengorbankan konsumen,. Komoditas tembakau ini harus kita jaga keberlangsungan, “katanya.
Ia juga berharap pemerintah, sebelum memutuskan melahirkan sebuah regulasi, kiranya terlebih dahulu melakukan riset-riset dasar/pondasional, holistik dan substansif terkait ekosistem pertembakauan. “Libatkan konsumen, ilmuwan dan ahli dari lintas transdisipliner yang wajib menimbang pada aspek kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa,”tambahnya.