Uncategorized
Sebuah Opini Mengenai MBG dari Pemerhati Pembangunan dan Perlindungan Anak

Program makan gratis untuk anak sekolah tengah menjadi sorotan publik. Ide ini dianggap mulia karena menyentuh kebutuhan dasar generasi penerus bangsa: gizi dan kesehatan. Namun, di balik semangat besar itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting — apakah program ini benar-benar investasi jangka panjang untuk masa depan anak-anak Indonesia, atau hanya proyek sosial sesaat yang membebani keuangan negara tanpa arah yang jelas?
Belajar dari Negara Lain
Program makan gratis untuk anak sekolah, yang menjadi salah satu janji utama pasangan presiden dan wakil presiden Prabowo–Gibran, sejak awal telah memantik diskusi luas di berbagai kalangan. Pemerintah memandang program ini sebagai upaya strategis mengentaskan masalah stunting dan memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia, dengan fokus pada peserta didik di jenjang sekolah dasar hingga menengah atas.
Secara konsep, gagasan ini patut diapresiasi. Pemenuhan gizi anak sekolah merupakan bagian penting dari pembangunan manusia, sebab anak yang tumbuh sehat dan cerdas adalah fondasi kemajuan bangsa. Namun, sebagaimana program besar lainnya, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh niat baik, melainkan juga oleh desain kebijakan yang tepat, implementasi yang cermat, dan pengawasan yang kuat.
Untuk menilai arah kebijakan ini, menarik bila kita menengok pengalaman sejumlah negara lain yang telah lebih dulu menjalankan program serupa.
Finlandia menyediakan makan gratis bagi semua siswa, mulai dari prasekolah hingga sekolah menengah. Program ini bukan sekadar kebijakan sosial, melainkan investasi jangka panjang yang menjamin kesetaraan kesempatan bagi seluruh anak tanpa membedakan status ekonomi.
Swedia memiliki kebijakan serupa. Negara tersebut memastikan seluruh peserta didik di sekolah dasar dan menengah mendapatkan makan siang bergizi setiap hari, sebagai bagian dari sistem kesejahteraan sosial yang menyeluruh.
Berbeda dengan dua negara Skandinavia itu, Latvia dan Lithuania menerapkan pendekatan yang lebih terarah. Latvia fokus pada siswa kelas 1–4 sekolah dasar, sedangkan Lithuania menargetkan anak-anak prasekolah dan siswa kelas 1 SD dari keluarga kurang mampu. Pendekatan ini menunjukkan bahwa program makan gratis tidak harus bersifat universal, melainkan dapat disesuaikan dengan konteks sosial dan kebutuhan tiap negara.
Lithuania memberi contoh baik dengan menjadikan kelompok anak prasekolah sebagai prioritas. Masa ini merupakan fase pembentukan dasar intelektualitas dan pertumbuhan anak. Kecukupan nutrisi di usia dini terbukti berpengaruh besar terhadap kemampuan belajar dan perkembangan kognitif anak di masa depan.
Dari berbagai model di atas, dapat dipetik pelajaran bahwa ketepatan sasaran menjadi kunci keberhasilan. Program yang dirancang tanpa analisis mendalam terhadap kelompok penerima manfaat berisiko tinggi meleset dari tujuan, bahkan menimbulkan pemborosan anggaran.
Besarnya Anggaran, Besarnya Tanggung Jawab
Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, sekitar 44 persen dari total anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun, atau Rp335 triliun, dialokasikan untuk program makan gratis bagi anak sekolah. Angka ini merupakan porsi terbesar dalam pos pendidikan tahun tersebut.
Besarnya alokasi dana menunjukkan betapa seriusnya pemerintah menjalankan program ini. Namun, di sisi lain, besarnya anggaran juga memunculkan kekhawatiran: apakah semua itu akan benar-benar tepat guna?
Ketika program ini pertama kali diumumkan, pemerintah memperkirakan kebutuhan anggaran mencapai Rp460 triliun dengan target 89,2 juta anak sekolah di seluruh Indonesia. Skala yang sangat besar ini menuntut strategi implementasi yang matang, terutama dalam menentukan prioritas wilayah dan kelompok penerima manfaat.
Sejumlah ekonom dan praktisi kebijakan publik bahkan mengingatkan risiko tekanan fiskal yang berat jika program tidak dijalankan secara efisien. Apalagi, pengalaman menunjukkan bahwa program berskala nasional sering kali menghadapi kendala pada tahap pelaksanaan: mulai dari distribusi logistik, pengawasan kualitas, hingga tumpang tindih kewenangan antarlembaga.
Menentukan Prioritas dan Keadilan Sosial
Fenomena anak-anak yang berangkat ke sekolah tanpa sarapan bukan hal baru di Indonesia. Banyak dari mereka tidak sempat makan bukan karena kebiasaan, melainkan karena tidak ada makanan yang tersedia di rumah.
Di sejumlah daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, kondisi ekonomi keluarga yang serba terbatas membuat anak hanya mengandalkan makanan seadanya, jauh dari standar gizi seimbang. Akibatnya, mereka mudah lelah, sulit fokus di kelas, dan berisiko mengalami stunting jangka panjang.
Ironisnya, pembangunan di wilayah-wilayah ini sering kali masih terfokus pada aspek fisik — seperti infrastruktur — sementara kebutuhan dasar seperti pemenuhan gizi anak belum menjadi prioritas utama.
Karena itu, program makan gratis seharusnya diposisikan sebagai upaya pemenuhan hak dasar anak, bukan sekadar bantuan sosial. Namun untuk sampai ke tahap itu, pemerintah perlu menetapkan siapa yang paling berhak dan di mana program sebaiknya difokuskan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) masih berada di posisi terbawah dalam daftar wilayah termiskin di Indonesia. Daerah-daerah ini sudah seharusnya menjadi prioritas utama pelaksanaan program makan gratis.
Namun, daerah lain yang memiliki tingkat kemiskinan rendah tentu memerlukan pendekatan berbeda. Di wilayah seperti Jawa Barat atau Kalimantan Timur yang relatif lebih maju, program makan gratis dapat difungsikan sebagai stimulus jangka pendek, sambil membangun kesadaran gizi di kalangan orang tua dan sekolah.
Artinya, pemerintah perlu menempatkan program ini secara proporsional: sebagai bantuan langsung di daerah miskin, dan program stimulasi serta edukasi gizi di daerah yang lebih sejahtera.
Dengan pendekatan yang fleksibel seperti ini, efektivitas program bisa dijaga tanpa menimbulkan pemborosan. Selain itu, pemerintah juga dapat memetakan kebutuhan pangan lokal agar pelaksanaan program tidak menimbulkan ketergantungan baru terhadap suplai dari luar daerah.
Pendekatan Local Driven: Dari Sekolah dan Komunitas
Agar tepat sasaran, pelaksanaan program sebaiknya menggunakan pendekatan berbasis lokal (local driven) — yakni kebijakan yang berangkat dari bawah, bukan sekadar keputusan pusat.
Ada dua aspek penting dalam pendekatan ini.
Pertama, sekolah harus menjadi ujung tombak pelaksanaan. Guru dan kepala sekolah adalah pihak yang paling memahami kondisi sosial ekonomi muridnya. Selain itu, lembaga pendidikan juga sudah memiliki kerangka kerja yang mendukung, seperti program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1.492 Tahun 2006 tentang kantin sekolah sehat.
Dengan memberdayakan sekolah, pemerintah tidak perlu membentuk lembaga baru yang justru menambah beban birokrasi dan fiskal.
Kedua, keterlibatan komunitas lokal harus menjadi bagian integral dari desain program. Sekolah-sekolah di pedesaan bisa bekerja sama dengan petani, peternak, atau pelaku UMKM sekitar sebagai penyedia bahan pangan. Dengan begitu, program makan gratis tidak hanya menyehatkan anak, tapi juga menggerakkan ekonomi lokal.
Selain itu, penggunaan bahan pangan lokal akan membuat menu lebih sesuai selera anak, memperkuat ketahanan pangan daerah, dan mengurangi risiko gangguan distribusi. Dengan desain seperti ini, program makan gratis bisa menjadi contoh nyata kebijakan publik yang berkelanjutan.
Dunia Usaha dan kepentingan terbaik bagi Anak
Pelaksanaan program makan gratis juga melibatkan sektor swasta, mulai dari pengadaan bahan baku hingga distribusi makanan. Keterlibatan dunia usaha tentu disambut baik, asalkan dilakukan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap aktivitas yang melibatkan anak harus menjamin keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka. Artinya, perusahaan yang menjadi pelaksana program wajib memiliki kebijakan perlindungan anak yang jelas dan memastikan standar keamanan pangan terpenuhi.
Sayangnya, sejumlah kasus keracunan makanan sekolah di berbagai daerah menunjukkan masih lemahnya pengawasan di lapangan. Perlu ada sistem mitigasi risiko yang wajib dimiliki setiap penyedia layanan. Pemerintah dapat menjadikannya sebagai syarat administrasi dalam kontrak kerja sama, agar tanggung jawab tidak berhenti pada level formalitas.
Dalam konteks ini, keterlibatan dunia usaha sebaiknya tidak berhenti pada sekadar menjalankan proyek, tetapi juga harus berkontribusi pada pendidikan gizi anak dan pembangunan sosial berkelanjutan.
Presiden dikabarkan akan menerbitkan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Program Makan Gratis untuk memperkuat pelaksanaan di lapangan. Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk perbaikan tata kelola. Namun, substansi kebijakan tetap harus berpijak pada satu hal utama: kepentingan terbaik bagi anak.
Program makan gratis tidak boleh berhenti sebagai bantuan sosial jangka pendek yang bergantung pada siklus politik. Sebaliknya, kebijakan ini harus menjadi investasi jangka panjang dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Untuk mencapainya, dibutuhkan tata kelola yang baik, transparansi penggunaan anggaran, dan pelibatan aktif masyarakat sipil, sekolah, serta dunia usaha dalam pengawasan.
Ketika setiap rupiah benar-benar diterjemahkan menjadi gizi yang layak bagi anak, ketika setiap piring makan menjadi simbol kesetaraan dan masa depan, maka saat itulah program makan gratis akan mencapai tujuan hakikinya.
Program makan gratis untuk anak sekolah adalah ide besar yang patut dipertahankan. Namun, keberhasilan sejatinya tidak diukur dari banyaknya makanan yang dibagikan, melainkan dari seberapa jauh program ini mampu meningkatkan kualitas hidup dan pendidikan anak-anak Indonesia.
Apabila dijalankan dengan prinsip keadilan sosial, pendekatan berbasis lokal, serta pengawasan yang ketat, program ini dapat menjadi tonggak baru dalam pembangunan manusia Indonesia.
Namun jika tidak, ia akan berakhir sebagai proyek sesaat — gemerlap di awal, namun kehilangan makna di perjalanan.
Robertus Rioputra
Pemerhati Masalah Pembangunan dan Perlindungan Anak
