Nandur Srawung adalah acara seni rupa tahunan yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta, dengan kegiatan utama dari acara ini berbentuk pameran seni rupa. Peserta pameran berasal dari Yogyakarta dan kota-kota lainnya dengan sistem pengajuan aplikasi terbuka (open call).
Acara ini mulai berlangsung sejak tahun 2014 dengan nama Pameran Rupa Rupa Seni Rupa: Nandur Srawung. Gagasan besar acara ini adalah mempertemukan ragam bentuk dan media ekspresi dalam seni rupa yang berlangsung di Yogyakarta, mulai seniman yang berbasis seni lukis, patung, grafis, kriya, disain, hingga seni performance dan media baru.
“Srawung” yang diambil dari bahasa Jawa berarti bergaul dimaknai sebagai bentuk pertemuan dan keterhubungan antar media dan komunitas seni rupa. Setahun berikutnya nama acara diubah menjadi Nandur Srawung, dengan tema yang selalu berganti setiap tahunnya. Sejak tahun 2018 acara ini mengalami perubahan arah dan bentuk kegiatan.
Keterhubungan antar ekspresi seni berkembang pada keterhubungan seni rupa dengan komunitas dan praktik sosial lainnya.
Makna “srawung” diperluas dan diwujudkan dalam kegiatan lain selain pameran, yaitu Srawung Moro dan Srawung Temu. Srawung Moro adalah kegiatan seni berbentuk kerja kolaborasi seni antara seniman dengan komunitas warga. Srawung Temu adalah kegiatan residensi seni yang membuka kesempatan kepada seniman dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk melakukan kerja seni di ruang seni di Yogyakarta atau dengan komunitas seni di Yogyakarta.
Dua kegiatan itu sebagai wujud keterhubungan praktik seni dengan komunitas, terutama warga di sekitar DIY dan membuka jejaring dengan seniman dari daerah lain. Sejak 3 tahun ini Nandur Srawung juga melibatkan beberapa seniman dari luar negeri untuk berpartisipasi dalam pameran.
Untuk tahun ini, Nandur Srawung tetap terselenggara dengan menambahkan kegiatan Srawung Moro: Temu Kurator Muda. Program ini membuka kesempatan kepada anak-anak muda yang tertarik dengan kegiatan kurasi seni rupa untuk bergabung dalam proses kurasi pameran Nandur Srawung ke-8 tahun 2021.
Dari puluhan calon yang mendaftar, terseleksi 3 calon kurator muda yang memperoleh kesempatan untuk mengikuti lokakarya dan praktik kuratorial selama penyelenggaraan acara nandur Srawung. Nandur Srawung kali ini masih diselenggarakan di tengah pandemi dimana manusia masih harus berada dalam segala keterbatasan dan kukungan. Kehidupan manusia lambat laun berangsur porsinya semakin besar memasuki dunia digital. Perhelatan kali ini akan menilik lagi berbagai hubungan yang terjadi baik antar sesama manusia maupun manusia dengan lingkungannya.
Melihat situasi tersebut Nandur Srawung memilih tema Ecosystem: Pranatamangsa. Tema ekosistem digunakan untuk melihat bagaimana manusia berelasi dengan sesama dan semestanya, termasuk bagaimana mereka melakukan adaptasi dalam kondisi pandemi dan jagad digital. Apakah manusia makin tercerabut dengan semesta nyatanya dan tersesat dalam jagad digital, ataukah manusia memiliki cara beradaptasi yang berbeda dengan perubahan alamnya melalui dunia digital.
Bagaimana kumpulan informasi yang terserak di jagad digital itu membantu manusia, sebagaimana dahulu ‘pranåtåmångså’_ digunakan untuk membaca semesta. Dari pertanyaan dan pernyataan itulah setidaknya gagasan pameran ini dikembangkan.
Salah satu konsep dalam pembahasan mengenai ekosistem adalah Biophilia, yaitu konsep yang menyatakan bahwa Individu yang sehat mampu menemukan cara bersatu kembali dengan dunia, dan dengan cara bersikap produktif manusia dapat memenuhi kebutuhan manusiawi mereka. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Erich Fromm untuk menggambarkan orientasi psikologis yang tertarik pada semua yang hidup dan vital.
Edward O Wilson kemudian menggunakan teori Biophilia dan mendefinisikannya sebagai “kecenderungan bawaan untuk fokus pada kehidupan dan proses seperti kehidupan serta bahwa hubungan manusia dengan alam tidak hanya fisiologis tetapi memiliki dasar genetik”. Hipotesis Biophilia adalah gagasan bahwa manusia memiliki kebutuhan bawaan untuk terhubung dengan alam dan bentuk biotik lainnya karena ketergantungan evolusioner kita padanya untuk bertahan hidup dan pemenuhan pribadi.
Nandur Srawung kali ini kemudian mengusung tema Ecosystem, dengan mengacu pada teori Biophilia. Sementara itu pranåtåmångså adalah upaya masyarakat agraris dan maritim Jawa dalam mengumpulkan informasi mengenai perubahan iklim dan menghubungkannya dengan aktivitas sehari-hari mereka.
Sistem ini digunakan untuk membantu mereka dalam melakukan aktivitas bertani maupun nelayan. Pameran ini diikuti oleh para perupa dari bermacam media seni antara lain lukisan, patung, seni grafis, batik, seni kain, video, fotografi, desain, dan aktivitas seni lainnya. Beberapa komunitas memamerkan kerja kreatif mereka yang bersinggungan langsung dengan problem kemasyarakatan, seperti menyelenggarakan literasi melalui kerja kolektif seni.
Dalam Nandur Srawung kali ini perserta berasal dari berbagai kota di Indonesia, dan diikuti pula oleh para seniman dan beberapa negara, yaitu: Austria, Swiss, Jepang, dan Jerman. Selain karya yang dipajang di Taman Budaya Yogyakarta, Nandur Srawung juga menghadirkan karya 4 seniman street art untuk membuat karya di ruang publik di 4 titik di Yogyakarta sebagai salah satu upaya memberikan dukungan terhadap para pekerja kesehatan dan masyarakat yang terdampak pandemi. Kegiatan lain adalah penyelenggaraaan talkshow bersama seniman perserta Nandur Srawung, dan kegiatan webinar yang mengenai tema yang berkaitan dengan tema Ecosystem: Pranatamangsa.