Setelah sukses dengan buku pertamanya berjudul “A Cup of Java”, Joriah Anwar, penulis dari Singapura, yang juga pendidik Bahasa Inggris, meluncurkan lagi buku “A Second Cup of Java” A Tale of Teenage Angst and First-time Romance, yang mengisahkan romansa remaja putri Yogya dan pria Jakarta yang penuh liku-liku dan kejadiannya berlangsung di Yogyakarta. Buku “A Cup of Java” karya Joriah Anwar (Author), sepenuhya didukung oleh Izzul Izz Ali (Editor), Saif Essad Bin Saim (Editor) dan Jack Chong Wei Lew (Illustrator).
Berikut cuplikan cerita yang membuat Anda akan terhanyut dalam rangkain kisah yang menarik untuk diikuti.
Hari ini adalah Hari Bastille – peringatan serbuan ke penjara Bastille oleh para revolusioner Prancis yang gagah-berani pada tahun 1789. Insiden yang terjadi 225 tahun lalu itu sebagai katalisator kebebasan bagi semua orang di muka bumi yang sekarang kita nikmati. Terima kasih, Perancis untuk Revolusi Prancis dan People Power yang telah anda lakukan. Terima kasih atas petunjuknya bagi kami bangsa-bangsa dari negara dunia ketiga, bahwa setiap suara, yang lemah dan tak berdaya, mulai diperhitungkan. Kalau sendirian, kami hanya menjadi bahan hembusan, sekedar buih.
Bersama dan bersatu, kita menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Bak Gelombang Tsunami yang dapat menggulung lembaga-lembaga pelaku ketidakadilan yang telah mengakar lama dan menjadikan mereka berlutut! Terima kasih, Perancis telah membantu kami membebaskan diri dari belenggu feodalisme yang kejam dan tak berperikemanusiaan.
Terima kasih, Perancis untuk “kesetaraan di depan hukum” dan demokrasi seperti yang kita kenal hari ini. Jika bukan karena engkau, kami sebagai warga dunia, akan tetap lemah dan tak berdaya, tetap dalam kungkungan penguasa feodal yang kuat. Aku melihat keluar dari jendela kecil ku seolah-olah melihat para revolusioner Prancis yang gagah berani berjalan di sepanjang Jalan Mataram sambil meneriakkan kata-kata: “Kekuatan untuk Rakyat! Bebas! Kita Sama! Kita Bersaudara! Aku tersenyum puas dan menasehati diri-sendiri: “Oh Dewi Kamu memang pemimpi … Kamu pemimpi hebat! Kau adalah …” dan kemudian kudengar ketukan di pintu. Hatiku berdegup kencang!
Oh Diary, jangan-jangan itu mereka, para revolusioner Perancis yang marah! Mengapa mereka mengejarku? Aku bukan Marie Antoinette. Aku Dewi Kartini. Aku rakyat jelata, warga dari dunia ketiga! Dan bukan aku yang mengatakan “Biarkan mereka makan itu kue!” Itu Marie Antoinette, dan dia mengatakannya sambil mencibir dan terkekek-kekek! Diriku pasrah dan berharap mati! Demi Allah aku teriak: “Bebas! Kita Setara! dan Kita Bersaudara!” dan “Kekuatan Untuk Rakyat!” kataku.
Ketukan keras terus berlanjut. Melawan atau Melayang! Suara memohon muncul di kepalaku! Ternyata, pintu telah dibuka, itu saudara ku, Mas Tri!
“Dimana nih makanan yang telah disiapkan Om Toby untuk Nenek dan Kakek?” “Disini,” jawabku sambil berjalan terhuyung menuju ke meja dengan pikiran hampa, untuk memberinya kotak makanan.
“Sayur Kari masih mengepul, terlalu panas untuk Kakek,” aku mengingatkannya.
“Gak masalah, aku akan memakannya sendiri,” ujarnya, sebelum berlalu pergi.
Ketika aku melihatnya berlenggang-kangkung dengan kotak makanan, Oh Diary, aku bertanya-tanya apakah diriku kecewa pada anti-klimaks, atau lega pada kenyataan bahwa itu hanya saudaraku tersayang Mas Tri dan bukan sosok revolusioner Prancis yang marah dan haus darah.
Aku masih terpana dengan imajinasi ku yang terlalu aktif dan emosi yang meningkat beberapa menit terakhir, tetapi aku dapat menghela napas dalam-dalam dan kemudian kita kembali ke acara A Cup of Java. Apakah itu baik-baik saja denganmu Diary? Terserahlah